367. Pulang

Michuseyo
5 min readNov 11, 2023

From Heartbeat au by michuseyo

Sudah lima hari pasca lahiran dan belum ada tanda-tanda siuman dari Kelana Rivera, sang istri tercinta. Ares bahkan tak memperdulikan dirinya yang sudah lima hari makan tak teratur dan tidurnya pun hanya 1–2 jam, meninggalkan tanda kehitaman di bawah matanya. Setidaknya kemarin Ares masih bisa menikmati makanan yang dibawa oleh Joan, Nico dan Brian. Terdistraksi sebentar saat ketiganya hadir untuk menjenguk namun setelahnya perasaan hampa dan sesak itu kembali mendominasi.

Ibu, Bunda, Ayah dan Auriga bergantian menjenguk Lana, sekaligus menemani Ares. Memintanya untuk tertidur barang satu atau dua jam, mengistirahatkan badan dan pikiran namun yang dititah, enggan menurut. Bunda sampai membawa bekal makanan untuk Ares, namun sampai hari ini masih tersisa, tak ada yang ia habiskan. Ibu dan Auriga bergantian menemani Ares, membawakan baju ganti untuk sang abang.

Bunga yang terpajang cantik disudut ruangan pada atas nakas, sedikitnya memberi warna pada pikiran Ares yang sedang kelabu. Bunga tersebut adalah pemberian dari Belva dan juga Kiya yang tadi sore menjenguk Lana untuk kali kedua. Kunjungan kedua kali ini masih dengan hasil yang sama. Lana belum sadarkan diri, sahabatnya itu masih nyaman menutup mata dengan rapat.

Ares semakin senang bermonolog, menceritakan kisahnya yang mungkin belum sempat ia ceritakan pada sang istri, juga tentang masa depan yang ingin ia jalani bersama Lana dan anak mereka. Kadang tertawa, tersenyum lalu kembali sendu. Tiga emosi yang berperan menemani rasa sepi Ares selama berada di ruang rawat inap ini.

“Nanti kita ajak Nameera ke pantai ya sayang.. kita juga belum pernah ke pantai bareng kan?”

“Terus entar kita main pasir, aku gendong Nameera sambil lari-larian soalnya kamu ngejar kita karena udah hancurin istana pasir yang kamu buat sendiri.” Ares terkekeh. Rasanya imajinasi ini bahkan tak pantas untuk dirinya ungkapkan. Terlalu jauh. Terlalu semu. Pikirannya kembali pada kenyataan yang sedang ia hadapi, istri yang sedang berbaring tanpa kode atau apapun yang membuat Ares sedikit lebih lega dan tenang. Lana menyiksanya dalam diam dan Ares menikmati siksaan ini dengan terus setia menemani Lana hingga keduanya bisa kembali saling menatap lekat dan menjalankan janji keduanya diukir, menghabiskan sisa waktu berdua.

Ares menghabiskan waktunya menemani Lana yang masih betah tertidur diatas ranjang. Layar monitor masih bergerak stabil, nafas Lana pun masih berhembus dengan tenang. Ares bersyukur namun sedih di waktu bersamaan. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Satu keyakinan dalam diri Ares, ia yakin jika wanitanya ini kuat, Lana pasti kembali. Kelananya pasti pulang.

Dokter saat itu mengatakan bahwa pendarahan yang istrinya alami adalah robekan spontan pada rahim atau disebut Ruptur Uteri. Dan yang bisa Ares garis bawahi dari setiap informasi yang diberikan oleh dokter adalah yakni sang istri masih beruntung karena berada dalam kondisi prima saat tiba di Rumah Sakit sebelum mendapatkan tindakan. Walau begitu, Ares tak bisa tidak memikirkan informasi dari yang ia baca melalui internet bahwa ternyata angka kematian ibu akibat Ruptur Uteri berkisar 17,9% sampai 62,6% di Indonesia.

Semakin diingat, semakin sesak. Sesak dan sesak, satu kata yang paling mewakili perasaan Ares selama tiga hari kepulangannya ke Bandung. Bukan menyambut dengan suka cita, bukan juga dengan duka. Semua yang ia alami ini berada diantara, diambang bahagia dan merana. Bahagia karena akhirnya janin yang ia harapkan kini telah lahir dengan sehat ke dunia. Merana karena belahan jiwanya masih tertidur tanpa jeda.

Sesekali Ares menjenguk anak perempuannya namun tidak dengan waktu yang lama. Ukiran wajah itu terlalu mirip sang istri, Ares semakin tersiksa saat menatap wajah Nameera yang terbingkai cantik persis Lana, sang istri. Ia hanya bisa menggendong Nameera sebentar kemudian mengecupnya tepat di dahi, setelahnya Ares pergi meninggalkan ruang NICU dan kembali ke ruangan sang istri.

Tak ada perubahan, Lana masih tak sadarkan diri. Entah harus menunggu sampai berapa lama namun Ares akan tetap setia disini, disisi sang istri, tak akan pergi kemana-mana. Ares kembali mendaratkan bokongnya pada kursi yang menjadi saksi pilunya selama berada di ruangan rawat inap ini. Kembali menatap sang istri yang sedang tertidur, “Kuat sayang, sayang pasti kuat.. pulang ke sini ya, jangan lama-lama di sana..” ucap Ares sendu. Ia benar-benar merindukan senyuman sang istri sebagai penyejuk hati.

Cahaya putih itu mengalihkan pandangan Lana yang sedang bersenang-senang bersama anak semata wayangnya dan Ares, sang suami di tepi Pantai.

“Mami….” Panggil anak kecil yang dibalut dress berwarna kuning dengan gambar bunga mawar yang menghiasi dress cantik tersebut. Topi pantai berwarna coklat turut menghiasi tampilan sang anak di keindahan sore menuju senja.

Lana tak menoleh. Ia terus melangkah menuju cahaya putih. Suara bisik itu seakan menghipnotisnya untuk terus jalan sedekat mungkin menuju cahaya, Lana tak menghentikan langkahnya.

“Yang.. mau kemana? Sini..” Suaminya bersuara, memanggil sang istri untuk turut membantu membuat istana pasir dari balok-balok yang sudah mereka bawa dari rumah, sengaja membeli peralatan pantai untuk sang anak sambil melatih motorik dan sensorik pada kegiatan alam.

“Yang..” panggil Ares lagi, kini dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya.. membuat Lana menghentikan langkahnya. Kemudian ia membalikkan badan, mendapati sang suami dan anaknya yang sedang tertawa lepas melihat istana yang sudah mereka buat jadi hancur tak bersisa karena ombak yang hadir tiba-tiba. Lana tersenyum melihatnya. Binar matanya menyiratkan kebahagiaan hingga hatinya turut menghangat. Sudut bibir yang terangkat dibarengi dengan liquid cair yang membendung di kelopak mata. Hal sederhana itu berhasil membuat hatinya goyah.

“Sini yang.. kita bikin lagi istananya..” panggil Ares lagi, mengajak sang istri untuk berkumpul kembali.

“Mami sini..” timpal Si Anak Kecil yang berusaha lari menuju tempatnya berdiri. Dengan langkah gontai karena belum terbiasa dengan tekstur pasir pantai, akhirnya Lana kembali melangkah. Melangkah maju menuju sang anak, tak ingin membiarkan anaknya kelelahan karena harus mengejar tempatnya berpijak.

Dari kejauhan, sang suami tersenyum seraya mengangkat tangannya, meminta kedua belahan jiwanya kembali ke tempat yang seharusnya, rumah.

Bukan sekedar mimpi, Ares jelas melihat dengan mata kepalanya sendiri, perubahan raut yang Lana ciptakan walau matanya terpejam rapat. Air mata itu muncul dan turun melalui sudut mata kanan. Ares tahu, Lananya masih disini. Lananya sedang berusaha pulang. “Iya sayang, mas disini. Selalu disini. Pulang ya sayang, pulang ke mas sama Nameera. Kita nungguin sayang..” ucap Ares seraya menggenggam tangan sang istri.

“Pulang sayang, jangan terlalu lama tidurnya.” Monolognya lagi. Walaupun satu arah, tapi Ares yakin jauh dari tempat sana, Lana pasti memahami isi hati sang suami yang hanya diisi olehnya seorang. “Pu — lang yang..” ucap Ares terbata saat Lana perlahan membuka kedua matanya.

--

--