196. Pamit

Michuseyo
12 min readJan 14, 2024

Closer au by michuseyo

‘Lil bit angst, mature content 21+ be wise.

Nadya kini menginjakkan kakinya di gedung apartemen Baskara, sang kekasih. Ya, Baskara masih kekasihnya. Mereka masih berpacaran walaupun tak tahu apa yang akan terjadi saat ia berhasil bertemu dengan Baskara. Nadya merapal doa semoga Baskara masih mau menemui dirinya, sudi mendengar semua penjelasannya walau ia tahu semua ini terlambat dan sia-sia.

Sudah biasa mengunjungi gedung milik sang kekasih, security juga tak perlu bertanya lagi tentang kedatangannya karena sudah pasti tujuannya adalah unit Baskara yang berada di lantai 20. Nadya tersenyum sopan pada security saat memasuki lift.

Lift berbunyi dengan angka berwarna merah menunjukkan lantai yang dituju. Nadya menarik nafasnya dalam-dalam kemudian ia hembuskan perlahan. Langkah kakinya bergerak lambat menuju pintu dengan nomor 720. Ia tahu ini tak sopan, tapi Nadya yakin hanya ini satu-satunya cara untuk dirinya bisa bertemu Baskara dengan segera.

Menekan tombol berisikan angka anniversary mereka kemudian kunci pintu otomatis terbuka. Masih sama, Baskara tidak buru-buru mengubahnya. Nadya memejamkan mata, berusaha menghirup udara terlebih dulu sebelum tungkainya memberanikan diri memasuki kediaman sang kekasih. Ia takut dan sakit setengah mati.

“B-bas..” panggil Nadya pelan. Ia sudah berada di ruang tengah dan Baskara sama sekali tidak terlihat disana. Meja terlihat bersih, begitupun sofa tempat mereka sempat bermain sebentar. Dapur juga rapih, tak ada tanda-tanda Baskara menghabiskan waktu makannya disini atau mungkin memang semuanya sudah ia bersihkan kemarin sebelum pulang ke rumahnya.

“Babas..” panggilnya lagi tak kalan pelan. Kini kakinya ia bawa menuju kamar sebagai saksi bisu keduanya saling berbagi peluh dan desah. “Bas..” panggilannya terhenti ketika Baskara memperagakan ibu jari di depan bibirnya, menyuruh Nadya diam karena ia sedang melakukan meeting di depan laptop. Benar, ternyata yang Baskara ucapkan tadi tentang urusan kantor benar adanya, ia tak berbohong sama sekali jadi Nadya memilih duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan kaca besar di dalam kamar Baskara, menunggu sang pemilik selesai dengan urusan kantornya.

Baskara menutup laptop dan menarus airpods di atasnya. Kemudian ia memundurkan kursi kerja lalu memutarnya untuk menghadap langsung pada tamunya malam ini. “Ngapain kesini?” Tanya Baskara. Raut wajah itu yang selalu Nadya takutkan. Tanpa ekspresi dengan tatapan yang terlalu lekat, bukan tajam tapi tetap membuat Nadya tak nyaman.

Nadya menurunkan wajahnya, tak sanggup bersitatap dengan Baskara. Kedua tangannya saling menggenggam hingga buku-buku jarinya memutih. “Aku minta maaf..”

“Buat apa?” Tanya Baskara.

“Semuanya.”

“Semuanya apa? Yang mana?” Suaranya kini begitu mengintimidasi. Nadya merasa sangat kecil. Kakinya ia rapatkan, takut.

“Lihat orang yang lagi kamu ajak bicara.” Ucap Baskara. Terlihat percikan api pada mata bulatnya. Wajar, sangat wajar. Nadya tahu jika Baskara pantas untuk merasa kecewa apalagi marah.

Rasanya ia sedang disidang saat ini. Tatapan Baskara padanya begitu lekat membuat Nadya gelisah bukan main. Baskara memejamkan mata, berusaha menghirup oksigen memberi makan untuk logikanya yang hampir mati.

Kemudian ia menepuk paha dan beralih tempat duduk dari kursi kerja ke sofa di samping Nadya. “Dari kapan?” Baskara membuka suara, kini jauh jauh lebih tenang dan hal ini membuat Nadya semakin takut. Baskara seharusnya bisa mengeluarkan emosi meledak-ledak, tapi ia memilih untuk bersikap tenang dan mencoba mendengarkan penjelasan Nadya, apapun itu.

“Maaf..” kata itu yang keluar dari bilah bibir Nadya.

“Kesini cuma mau minta maaf aja?” Tanya Baskara. Tangannya berusaha mengurai kedua tangan Nadya yang kuku-kukunya silih menusuk punggung tangan masing-masing. Nadya menggeleng, bukan cuma minta maaf tapi ia harus menjelaskan semuanya tanpa terkecuali. Namun semuanya tertahan sampai di kerongkongan, ia kesulitan.

“Terus apa?” Baskara sedikit mendesak, ia tak bisa berlama-lama menunggu Nadya yang hanya terdiam dan mengatakan maaf tanpa memberi penjelasan yang setimpal dengan kebingungannya.

“Bas..” panggil Nadya begitu lirih, matanya mulai diselimuti cairan bening. Baskara tak tega melihatnya.

“Aku cinta sama kamu, Bas.” Baskara tersenyum tanpa jawaban apapun.

“Aku ngga mau putus.” Tapi harus, batin Baskara.

“Aku ngga ma-”

“Aku udah denger semuanya dari bang Juna kemarin, jadi waktu tadi liat kamu disana, udah ngga begitu kaget.” Arjuna menceritakan hubungannya dengan Nadya tanpa tahu jika perempuan yang ia ceritakan adalah kekasih dari adiknya yang selama ini ingin ia singkirkan karena membuat Nadya sering berpikir untuk membatalkan perjodohan. Bahkan Arjuna bercerita tentang Nadya yang sudah memiliki kekasih dan ingin turut membantu Nadya untuk segera mengakhiri hubungannya. Tadi malam Baskara tak banyak berbicara, ia hanya mendengar dengan baik semua cerita dari abangnya. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan.

Bahkan sakitnya ia tahan karena masih harus bertemu tatap dengan Nadya melalui panggilan video call. Hatinya teriris perih saat melihat cantiknya tertawa ketika menceritakan hal-hal random yang terjadi di lingkungan kerjanya. Tuhan, mengapa harus Nadya?

Pengakuan tersebut membuat mata Nadya membelalak, hatinya kembali tercabik, air matanya tertahan hingga menggenang pada pelupuk matanya. Baskaranya masih manis tadi malam saat mereka melakukan video call. Sakit. Nadya benar-benar menyakitinya.

Baskara mengelus punggung tangan Nadya perlahan. “Kamu udah ngga perlu repot bohong lagi Nad..” Nadya menggelengkan kepalanya. Bukan, bukan yang seperti ini yang ia rangkai dalam imajinasinya. Baskaranya sakit, ia tahu itu. Lelaki ini sangat pandai menyimpannya. Terlalu pandai sampai Nadya kesulitan harus melakukan apa.

“Udah.. aku udah maafin. Kamu ngga perlu repot-repot bohong atau jelasin apapun. Susah pasti ya?” Nadya menggelengkan kepalanya repetitif, kini liquid cair turun menghujani pipi kemerahannya.

“M-maaf.. Baskara maafin aku..” ucapnya terbata. Semua rangkaian kata hilang dan lenyap dalam sekejap, tertutup rasa sakit yang menyesakkan. Tangannya ia kepal kuat untuk kemudian memukul dadanya beberapa kali, Baskaranya ikut menangis dan coba menghentikan tangan Nadya.

“Semesta ngga ijinin kita untuk bersama.” Nadya menatap nanar wajah Baskara. “Ini wasiat dan perjanjian sahabat yang harus dijalani. Abang Juna baik, kamu pasti bahagia sama dia, Nad.” Baskara menahan kedua tangan Nadya dalam satu genggaman.

“Tapi aku ngga mau putus.. aku sayangnya sama kamu Bas. Bukan sama dia.” Baskara kini mengusap bahu sang puan dengan kedua tangannya.

“Tapi tetep harus putus, kan?” Baskara tersenyum dengan bekas air mata di pipinya. Nadya tak bisa menjawab, air matanya turun kembali. Sesak dadanya sulit ia tahan, Baskara membiarkan Nadya meluruhkan air matanya dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Baskara hanya bisa menemani Nadya sampai perempuan di depannya sedikit lebih tenang untuk bisa diajak berbicara kembali.

“Aku udah banyak bohongin kamu. Kenapa kamu sama sekali ngga marah sama aku Bas?” Ucap Nadya sambil menyeka air matanya. Matanya bengkak, wajahnya merah sebab tangis yang lama terurai.

“Kamu mau aku marah kaya apa?” Nadya menggeleng, selama memiliki hubungan dengan Baskara, tak pernah sekalipun lelaki ini marah sampai meledak-ledak. Baskaranya selalu baik, jarang marah. Namun diamnya Baskara justru lebih menakutkan dari apapun. Bahkan sikapnya yang kelewat tenang, membuat Nadya frustasi.

“Maaf.. harusnya aku ngga ajak kamu backstreet dari awal..” Baskara hanya mendengarkan.

“Maaf karena aku selalu menghindar ketika kamu pengen datang ke rumah untuk ketemu Mami.” Baskara mengangguk perlahan.

“Maaf karena ngga cerita tentang perjodohan ini.. a-aku sama sekali ngga tahu kalau kak Juna itu abang kamu, Bas.. aku beneran ngga tau.”

“Kalo pun dia bukan abang aku, kamu akan terus bohongin aku, iya?” Nadya terdiam kemudian menggeleng. Ia memang berniat untuk menceritakan semuanya, pun ia masih bingung dengan apa yang harus ia katakan nantinya.

“Ngga, aku emang niat mau jujur setelah pertemuan keluarga tadi. Tapi semuanya kacau – “

“Dari awal udah kacau. Hubungan kita udah rusak dari awal.” Ucap Baskara. Hening kembali menyergap ruangan besar yang kini terasa sesak.

“Maaf.. maaf..” ucap Nadya lirih. “T-tapi ngga kacau dari awal. Aku sayang kamu, kamu juga kan? Kita bahagia banget kalo berdua Bas. Iya, kan? Kamu juga rasain itu, kan?” Baskara hanya bisa tersenyum tipis dengan sisa energi yang ia miliki.

Jika diingat kembali, benar apa yang ia ucapkan tadi, hubungannya dengan Nadya memang sudah rusak dari awal. Backstreet selama lima tahun? Baskara kembali tersenyum, mengingat betapa bodoh dirinya dan diperbudak oleh cinta hingga lupa bahwa badai bisa datang kapan saja di hubungan mereka.

Baskara tahu tempat, dirinya akan selalu dibuang dimanapun tempatnya memijakkan kaki. Wanita yang menjadi satu-satunya alasan untuk hidup kini menjadi alasan untuk rasa sakit yang tak bisa dijabarkan.

Baskara terdiam, begitupun Nadya dengan isaknya. Langit sudah berubah menjadi hitam karena Baskara tak sempat menutup gorden kamarnya. Nadya kemudian memberanikan diri mengelus punggung tangan Baskara. “Udah malem.. pulang ya? Ngga enak calon istri orang ada di kamar cowo lain.” Baskara berucap pelan. Nadya menggeleng, menolak pulang.

“Nad..” panggil Baskara seraya mengusap pelan pipi Nadya. Netra keduanya saling bersitatap. Terlalu banyak sakit yang menggenang hingga tatapan itu begitu sendu dan kelabu.

“Ngga mau putus..” lirih Nadya.

Ucapan Nadya dibalas lumatan oleh ranum Baskara. Mata keduanya terpejam, menikmati setiap sesapan yang dilakukan secara bergantian. Cairan bening turun perlahan dari sudut mata Nadya juga Baskara. Ciuman menyesakkan yang tak akan pernah bisa keduanya lupakan.

Baskara mengusap pelan pipi sang puan, menarik tipis dagu Nadya agar lidahnya bisa dengan bebas mengabsen satu persatu deretan gigi yang Baskara sudah hafal betul berapa jumlahnya. Permainan lidah tak ayal membuat logika mereka mati dan berganti dengan nafsu yang menjadi setir.

Nadya berusaha membuka ikat pinggang yang masih bertengger pada celana Baskara tanpa melepas pagutan dengan ritme acak yang sudah menggelapkan logika dua insan tersebut, melupakan masalah besar yang membuat keduanya tak akan bisa bersama setelah ini.

Baskara membantu Nadya melepaskan dress berwarna merah muda yang ia kenakan saat pertemuan keluarga tadi, sakit jika harus mengingatnya kembali. Melihat cantiknya duduk bersebrangan dengannya di antara dua keluarga dan bukan dirinya yang menjadi pemeran utama melainkan sang abang.

Keduanya hanya menyisakan pakaian dalam, Nadya beranjak dari duduknya dan berpindah ke pangkuan Baskara yang masih duduk di atas sofa. Memulai kembali pagutan yang didominasi dengan nafsu belaka. Bergerak tak tentu arah sampai mengeluarkan lenguhan karena penis Baskara mulai mengeras dan mengenai vagina Nadya walau hanya dari gesekan antar fabric.

Setiap inci tubuh kekar Baskara dielus pelan oleh jemari-jemari cantik milik sang puan, membuat Baskara mengeluarkan desah saat putingnya dicubit pelan oleh Nadya.

“Aku sebenernya udah ngga punya orang tua. Ayah kandungku pergi entah kemana, ninggalin Bunda, Bunda yang cerita sebelum kami pindah ke Quincy. Waktu itu umurku 5 tahun saat Bunda menikah sama Ayah yang sekarang” ucap Baskara saat keduanya saling mendekap di bawah selimut tebal.

“Bunda nikah sama duda anak satu, laki-laki. Umurnya lebih tua dia daripada aku. Waktu itu, Ayah belum se sukses sekarang dan pulang ke rumah karena sibuk membangun bisnis sama temannya. Setiap pulang, Ayah selalu membawa lego. Ayah tahu kalo aku suka main lego. Walaupun jarang pulang, tapi Ayah selalu membawa mainan untuk aku.” Nadya mengelus surai hitam sang kekasih, membuka telinga lebara-lebar untuk mendengar cerita kekasihnya yang belum pernah ia ketahui sama sekali.

Baskara membawa tubuh Nadya untuk ia jamah lebih bebas di atas kasur yang selalu menjadi saksi bisu keduanya saat bersenggama. Suara desahan Nadya memang selalu memabukkan. Membuat akal sehat Baskara lenyap tak bersisa. Keduanya sudah telanjang, tak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuh. “Cantiknya Babas..” ucap Baskara yang disusul dengan tawa nyaring.

“Singkat cerita, Bunda mulai sakit-sakitan. Keadaan bisnis Ayah udah mulai maju dan kita pindah ke rumah yang sekarang. Ayah udah ngga sesibuk sebelumnya. Lebih sering pulang dan ngabisin waktu bareng aku, bunda sama abang.” Baskara menarik nafas sebelum melanjutkan ceritanya, “Sakit Bunda bertambah parah karena mulai muntah darah, banyak banget sampai aku lari-lari cari bantuan ke bibi sama pak supir untuk bawa Bunda ke Rumah Sakit.” Tubuh Baskara sedikit bergetar, ia masih sedikit trauma jika mengingat tentang kepergian Bundanya. “Relax yang.. ada aku disini..” ucap Nadya menenangkan.

Baskara mendekap tubuh Nadya lebih erat dan melenyapkan setengah wajahnya ke dalam payudara sang kekasih. “Geli ihhh, nakal.. cepet lanjutin dulu yangg” ucap Nadya sambil menjambak pelan rambut Baskara agar berhenti menggigit branya dari luar membuat rambut Baskara sedikit acak-acakan.

“Terus..” ia melanjutkan cerita. “Waktu itu aku sendirian di rumah, abang lagi pergi ke tempat ibunya. Aku coba telepon Ayah tapi ngga diangkat-angkat, jadi aku pergi ke rumah sakit ditemenin bibi dan pak sopir.” Memorinya kian sesak. “Bunda langsung dibawa ke UGD, aku cuma bisa diem. Bibi waktu itu mondar mandir masih coba untuk telepon Ayah sampai akhirnya Ayah angkat telepon dan katanya bakal langsung pergi ke Rumah Sakit.”

Mau minum dulu ngga yang? Tawar Nadya, gelas berisi air berada pada nakas sebelah ranjang namun Baskara menggeleng, memilih untuk melanjutkan ceritanya. “Sebelum ayah datang, dokter lebih dulu keluar dari ruang operasi dan dia bilang pelan-pelan sama aku dan bibi, katanya kami sudah melakukan yang terbaik tapi mohon maaf pasien Seraya Indah dinyatakan meninggal dunia pukul 11.59 malam.” Hening, Baskara belum melanjutkan cerita juga Nadya terdiam tak mau menginterupsi. “Kamu tau by? Besoknya adalah hari ulang tahun aku yang ke 7.” Nadya mendekap erat tubuh Baskara, tubuhnya bergetar tak kuasa menahan tangis. Kekasihnya memiliki duka yang dalam semasa kecil dan tak ada yang menemaninya selain bibi.

Ngg – hh

“Enak?” Nadya mengangguk mantap. Dua jemari Baskara selalu berhasil membuat tubuhnya menggelinjang. Menekan-nekan klitoris hingga keberadaan G-spot yang sudah hatam Baskara ketahui membuat Nadya mengeluarkan putihnya lebih dulu. “Fuckkk – selalu keluar duluan.”

“M-maaf, ngga tahan yang..” ucap Nadya seraya menggenggam seprai hitam milik Baskara yang sebentar lagi berubah warna menjadi putih. Baskara kemudian mengeluarkan dua jarinya dan menjilat sisa-sisa cairan milik Nadya. Panas dan tampan, Baskaranya terlihat seribu kali lebih tampan saat sedang menjilat cairan miliknya.

“Apa?” Tanya Baskara pongah. Nadya menggerak-gerakkan pahanya ke kanan dan kiri, tak bisa menahan diri.

“Mau..”

“Mau apa?”

“Mau Baskara.” Baskara tersenyum kemudian menurunkan tubuhnya sambil melebarkan paha Nadya dengan satu tangan.

“10 menit setelah dokter kasih tahu kalau Bunda udah pergi dari dunia ini, Ayah datang sama abang dan wanita yang sekarang jadi Ibu aku. Dua tahun kemudian, Ayah rujuk sama mantan istrinya. Menikah lagi, dan dia adalah ibu kandungnya abang. Kamu tau by? Sepeninggalan Bunda, aku pikir orang-orang terutama Ayah akan bersedih karena Bunda meninggal. Tapi yang aku lihat malah Ayah lagi ciuman sama wanita itu malam-malam sepulang dari pemakaman.” Nadya mengelus punggung Baskara, memberi afeksi penuh sayang.

“Dari situ aku tahu bahwa aku cuma parasit di rumah besar itu, ngga ada yang menginginkan kehadiran aku disana by. Makanya pas udah lulus kuliah aku bersikeras untuk keluar dari rumah dan tinggal disini. Sebenarnya masih banyak kejadian yang ngga mengenakkan, tapi kamu cukup tau sampe situ aja, ngga apa-apa?” Tanya Baskara setelah bercerita panjang lebar. Nadya sebanarnya masih penasaran dengan hubungan Baskara dan Ibu tirinya, apakah sama seperti yang selalu ia baca dan lihat dalam karangan fiksi maupun film atau seperti apa. “Mm..”

“Kenapa?”

“Boleh tau ngga, hubungan kamu sama ibu tiri kamu kaya gimana?” Tanya Nadya pelan-pelan, ia benar-benar penasaran ingin tahu.

Setelah mengocok penisnya, Baskara melesakkan batang lunak berukuran besar ke dalam lubang yang akan ia singgahi terakhir kalinya. Tubuh Nadya membusung. Penisnya menancap sempurna ke dalam milik Nadya.

Tangan Baskara tidak dibiarkan diam, jemarinya menari-nari di atas payudara sang puan yang berukuran sedang, diremas dan diusap hingga membuat Nadya hampir gila untuk tak mendesahkan nama Baskara Dewandaru di bibir mungilnya. Ibu jari dan jari telunjuk bekerjasama untuk mencubit dan memilin puting Nadya yang berdiri tegang.

“Say my name.. Nadya” ucap Baskara tepat pada telinga Nadya sambil mulai menggerakkan batangnya untuk masuk dan keluar.

“Baskar – aghh ena – ahk”

That’s my girl.”

Suara kecipak basah dari cairan yang beradu di dalam sana bukan hal baru untuk keduanya. Nadya selalu pasrah seperti ini, “Kiss.. mau kiss” rengeknya sambil merentangkan tangan, meminta wajah Baskara agar turun untuk bisa ia lumat bibir yang telah dilepas piercingnya sejak lama.

Baskara menurunkan wajahnya, menatap lamat pahatan cantik ciptaan Tuhan yang sayang kini tidak akan pernah menjadi miliknya. Ia memejamkan mata dan kemudian melumat bibir mungil itu dengan rakus hingga saliva mereka membentuk benang karena pagutan yang terburu dan diselimuti nafsu.

“Kayanya apa yang ada dalam cerita dongeng atau sinetron, kejadian juga di aku by.. tapi ngga seburuk itu sih, mungkin.” Ucap Baskara, ia berusaha mengingat masa lalu kelamnya. “Ibu lebih sering banding-bandingin aku sama abang kalo udah mulai pembagian rapot. Ngga tau abang yang terlalu pinter atau aku yang kelewat oon, aku ngga pernah masuk 5 besar.” Nadya mengecup puncak kepala Baskara perlahan.

“Pernah juga sih ngga dikasih makan sehari gara-gara nilai ulangan matematika 0.” Ucap Baskara dengan kekehan.. “tapi habis itu aku minta Abang untuk ajarin aku biar engga kena marah Ibu.” Nadya mengelus lagi punggung Baskara, “Pacar aku hebat, buktinya sekarang kerja di tambang hasil usaha sendiri, hebat.. Baskara hebat.”

Baskara tahu jika Nadya berusaha menenangkannya, jadi ia tersenyum walau sang kekasih tak bisa melihatnya.

Ternyata didengarkan seperti ini sangat membuatnya tenang. Baskara sedikit menyesal karena tak menceritakan hal ini lebih cepat pada Nadya.

“Ngga ada yang aneh-aneh kok by, paling parah ngga di kasih makan aja.” Ucap Baskara.

“Tapi dibanding-bandingin pasti ngga enak kan? Ngga kebayang kamu nahan sakitnya kaya apa tiap dibandingin.” Ucap Nadya sedikit menggebu, tak terima kesayangannya memiliki kenangan pahit selama masa kecilnya.

“Iya sakit sih.. tapi udah kelewat, sekarang kan ada kamu by..” ucap Baskara pelan seraya mendekap tubuh kekasihnya.

“Sama aku pasti bakal bahagia.” Ucap Nadya penuh bangga.

“Katanya sama kamu, aku bakal bahagia.” Ucap Baskara di tengah-tengah peraduan peluh keduanya. Nadya samar mendengar karena terbuai oleh pergerakan Baskara. “Nad.. i am mad.” Ucapnya penuh tekanan sampai tak segan melepas penis yang masih mengeras dari dari dalam lubang.

“Nungging..” titah Baskara, matanya merah, penuh murka. Nadya melihatnya sebagai mata yang diselimuti nafsu, jadi ia hanya mengangguk setuju, toh posisi ini sudah lama tak keduanya lakukan.

Nadya mengubah posisinya, menggenggam erat seprai yang sudah tak karuan bentuknya dan mempersilahkan Baskara untuk menyetubuhinya.

“Ini bakalan sakit..”

“Aku ngga peduli..” ucapan Nadya memantik api yang semula hanya sebuah percikan. Baskara memasukkan penisnya tanpa aba-aba. Menusuk tanpa ampun, telinganya ia buat tuli. Bibirnya menganga menikmati setiap pergerakan yang ia lakukan pada tubuh mungil di bawahnya.

Kini desah berganti menjadi rintih, “s-sakit.. Bas.. s-sakit..” ucap Nadya saat Baskara terus menghujam lubangnya sambil menjambak surai hitam panjang milik Nadya.

“A-aaahk..” pekik sang puan, kini Baskara bertubi-tubi menampar pipi bokong miliknya. Mungkin sekarang sudah berubah warna menjadi merah. “S-sakit.. Bas.. S-stop.. Udahh..” Nadya merintih, benar-benar memohon untuk Baskara segera menghentikan pergerakannya. Tangisnya pecah tatkala Baskara membisukan mulut dan menulikan telinganya. Ia belum puas menghujani lubang Nadya dengan cairan putih miliknya.

Tubuh Nadya tengkurap lemas tak berdaya, membiarkan Baskara terus menusuknya dari belakang hingga cairan bening dari mata cantik sang puan turun. Ini bukan cinta, ini amarah.

--

--