148. Pertemuan

Michuseyo
6 min readDec 20, 2023

Closer AU by michuseyo

Setelah mengakhiri panggilannya dengan Arjuna, Nadya bergegas mengganti pakaian dan bermandikan parfum karena tak ada waktu baginya untuk mengguyur tubuh terlebih dulu. Ia sudah telat, sangat telat. Waktu sudah menunjukkan setengah delapan malam dan ia dengan tak tahu diri membuat Arjuna — lelaki yang akan dijodohkan dengannya — menunggu di museum selama setengah jam.

Nadya memilih untuk menggunakan ojek online agar lebih cepat sampai ke tujuan. Kepergiannya malam ini tak memerlukan izin yang sulit karena sebuah nama, Arjuna, yang anak sahabatnya papi. Walaupun sempat ditanya mengapa lelaki itu tak menjemputnya dan mampir ke rumah, Nadya memberitahu bahwa keputusan untuk bertemu di tempat adalah idenya karena memang benar ini adalah ide Nadya dan disetujui oleh Arjuna.

Sesampainya di depan Museum, dadanya naik turun, nafasnya tersengal karena jarak dari gerbang utama menuju gedung cukup jauh dan ia berlari secepat yang dirinya bisa. Nadya merogoh tas selendang berwarna hitamnya, mengambil benda pipih dan mencari ruang obrolan bersama lelaki yang ia beri sebutan Om Juna.

“Udah mau tutup, cari tempat lain aja.” Suara baritone seorang lelaki menghentikan kegiatan Nadya yang tinggal menekan sent. Arjuna berdiri di belakang perempuan yang ia yakini adalah seseorang yang dengan kurang ajarnya membuat dirinya menunggu sampai satu setengah jam lamanya. Nadya menutup kedua mata, menarik dan menghembuskan nafas perlahan, jelas ia takut dan merasa tak berdaya saat ini jika harus berhadapan dengan seseorang yang tak dikenalinya.

Dirasa cukup tenang dan waras, Nadya kemudian menggerakkan kaki serta tubuhnya untuk menghadap ke belakang, berhadapan dengan seorang lelaki dengan tubuh yang tinggi dan tegap. “Lo?” Kata pertama yang muncul dari bilah bibir mungil favorit Baskara.

Ingatannya langsung terbang ke beberapa tahun silam. Pertemuan tak sengaja di kereta, Senin pagi yang membagongkan — batinnya. “Sopan ngomong kaya gitu sama yang lebih tua?” Arjuna sengaja memancing emosi. “Siap deh si paling lebih tua. Dasar om-om.” Dengusnya dengan suara pelan yang percuma saja karena Arjuna bisa mendengarnya dengan sangat jelas. “Baju gue yang ketumpahan kopi lo, ngga bisa dipake lagi karena nodanya gak ilang.”

“Jadi mau panggil lo atau om?” Arjuna mengalihkan pertanyaan yang diajukan Nadya.

“Om-lah. Lo — om kan lebih tua dari gue.”

“Siap deh si paling lebih muda.” Ejek Arjuna, ia sendiri heran kenapa dirinya bisa bersikap kekanakan seperti saat ini. Nadya kembali mendengus sebal karena Arjuna membalikkan kalimat yang sebelumnya ia ucapkan.

“Ayo dek, cari tempat lain aja.” Arjuna kembali memancing emosi untuk kali kedua.

“Apaan sih duk dak dek, geli banget.” Nadya kembali menggerutu dengan kedua alis yang menukik dan bibir yang cemberut kesal. Arjuna terkekeh diam-diam.

“Yaudah, ayo cari tempat lain aja. Museumnya mau ditutup bentar lagi. Kita ke mini market depan, disana ada kursi-kursi. Kopinya juga enak.” Arjuna memberi saran, tak elok juga berlama-lama di depan gedung yang sudah sepi dan berduaan dengan perempuan. Ia tak mau disangka yang tidak-tidak oleh orang yang melihat keberadaan mereka berdua.

“Ayo..” ucap Arjuna sambil melangkah tanpa menunggu jawaban Nadya karena terlalu banyak berpikir. Arjuna sudah beberapa langkah di depan, meninggalkan sang puan yang masih mencoba meredam emosi pada lelaki yang mengotori bajunya, bahkan nodanya tidak bisa hilang sampai sekarang.

Mau tak mau Nadya mengikuti langkah lelaki tua di depannya. Nadya berusaha untuk menjaga jarak, karena tiba-tiba dirinya diselimuti rasa takut. Takut jika lelaki di depannya memiliki niat jahat. Ia harus membuktikan satu hal terlebih dulu.”

“Wait..” ucap Nadya menghentikan langkahnya dan Arjuna pun ikut berhenti.

“Siapa nama Ayah gue?”

Arjuna membalikkan tubuhnya dan tersenyum smirk, merasa sedang diuji.

“Papi lo namanya Ryan Atmajaya.”

Nadya tak bergeming, bahkan lelaki yang berhadapan dengannya ini tahu panggilannya untuk sang Ayah adalah Papi. Menyebalkan. Nadya memutus kontak mata dan memilih untuk memimpin jalan tanpa perduli langkahnya diikuti atau tidak oleh lelaki yang umurnya lebih tua darinya.

Tiba di mini market, keduanya sudah duduk manis di kursi besi di halaman mini market. Pesanan mereka sudah memenuhi meja, satu Ice Americano dan satu Green Tea Frappe serta dua hot dog tanpa sayur. “Kenapa ngga pakai sayur?” Tanya Arjuna seraya menyeruput Ice Americano miliknya.

“Om sendiri kenapa ngga pake sayur?”

“Umur kita ngga beda jauh, Nadya.” Merinding. Tiba-tiba tubuh Nadya merinding karena Arjuna mengucapkan namanya dengan sangat dalam dan lembut. Ia menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran bodoh. “Kenapa?” Tanya Arjuna, heran dengan tingkah perempuan di depannya yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menggeleng.

“Gue bakal manggil om terus sam — “

“Sampai kita nikah, terus ganti jadi mas suami?” Nadya terbatuk bukan main. Ucapan Arjuna benar-benar diluar dugaannya. “Gitu aja salting..” timpal Arjuna seraya memberi minuman milik sang puan, meminta Nadya minum untuk meredakan batuknya.

“Dasar om-om gila.” Ujar Nadya, pandangannya ia alihkan pada jalan raya, enggan bertemu tatap dengan lelaki yang duduk di depannya.

“Om mesum, om gila, entar apa lagi sebutan dari kamu untuk saya, Nadya?” Fuck. Kenapa sih ngga bisa manggil nama gue biasa aja??

“Kenapa? Ketus terus wajahnya..” Arjuna pandai menilai raut wajah seseorang atau dirinya mulai senang menggoda perempuan — yang seharusnya bisa ia sebut sebagai calon istrinya.

Mengumpulkan sisa-sisa kesabaran yang ada, Nadya tak mau menghabiskan waktu percuma dengan Arjuna atau entahlah siapa namanya, ia tak terlalu peduli. “Mau om apa? Mau obrolin apa?” Tanyanya dengan nada yang berusaha ia buat senetral mungkin.

Tak butuh waktu lama untuk Arjuna menjawab pertanyaan dari Nadya. Terlalu mudah. “Ngobrol dari A-Z, saya ingin mengenal calon istri saya seperti apa.” Jawabnya, jujur.

“Bisa ngga sih dibatalin aja om? Om kan katanya mapan, om tinggal cari perempuan yang sepadan, setara sama om. Gue ngga ada apa-apanya. Ngga ada bagus-bagusnya sumpah. Yang ada om rugi tau kalo punya istri kaya gue.” Cerocos Nadya menanggalkan senyuman pada wajah Arjuna dengan lesung pipi yang dahulu sempat membuatnya tak menutup mata selama 10 detik karena terpana.

“Bawel banget dek..” entah mengapa Arjuna senang sekali menggoda Nadya dan respon Nadya akan kembali membuat kedua sudut bibir Arjuna tertarik ke atas.

“Ish.. orang nanya apa, dijawab apa. Gak jelas banget. Serius dong om, batalin aja. Papi juga udah ngga ada, Papi pasti setuju sama pilihan anaknya.”

“Emang pilihan anaknya, apa?”

“Gue bakal nikah sama cowo guelah.”

“Cowonya dimana sekarang?”

“Ada, jauh. Ngga usah kepo.”

“Kerja apa?”

“Ngga usah kepo dibilang.” Jawab Nadya sedikit ketus, ia tak suka jika ada yang menanyakan tentang pekerjaan kekasihnya. Apalagi tanya tersebut keluar dari seseorang yang ia tak suka sejak awal bertemu. Arjuna menutup mulutnya rapat, tak mau berdebat lebih jauh lagi perkara kekasih Nadya.

“Tapi amanat tetep amanat. Kamu tega ngingkarin janji Papi kamu sendiri?” Tanya Arjuna yang berhasil membuat Nadya termenung, ia mengaduk minumannya.

“Saya mau nikahin kamu karena ingin merealisasikan janji Ayah saya dengan sahabatnya. Setidaknya ini jadi hal terakhir yang bisa saya lakukan untuk membahagiakan Ayah saya. Dia ingin segera menim — “

“Stop!! Gila ya om? Obrolannya udah ngalor ngidul. Emang siapa juga yang mau nikah sama om? Ngga ya, gue ngga mau. Gue bakal cari cara supaya perjodohan ini dibatalin.” Final Nadya. Ia benar-benar tak ingin menikah dengan lelaki yang bahkan tak ia kenali apalagi cinta.

“Coba dulu saja, pendekatan selama sebulan, toh kamu tetap harus menikah dengan saya bagaimanapun caranya.” Ucap Arjuna sambil melahap potongan terakhir hot dog.

“Ngga, pasti ada cara supaya perjodohan ini bisa batal. Gue yakin. Mami juga pasti sebenernya ngga mau gue dijodoh-jodohin kaya begini.”

“Masa? Saya tadi ijin dulu loh lewat telepon dan beliau mengizinkan. Walaupun anaknya bersikeras ngga mau saya jemput ke rumah.” Mulut Nadya sedikit menganga, tak percaya dengan apa yang Arjuna katakan barusan. Mami tak mungkin membohonginya kan?

“Saya telepon beliau saat kamu sudah dijalan. Mami kamu ngga bohongin kamu, Nadya.” Arjuna menimpali seakan tahu pikiran buruk yang terlintas dalam benak Nadya. Hening. Situasi ini tentu merupakan situasi yang gawat darurat karena Mami bisa dengan mudah menerima lelaki yang bahkan belum Mami temui. Belum, Nadya yakin sang Mami belum menerima seratus persen perjodohan ini. Nadya bergelut dengan pikirannya sendiri. Satu-satunya orang yang akan mendukungnya hanyalah Mami. Hanya Mami yang ia punya dan percaya untuk menolak keras perjodohan ini — dan tentunya Baskara, sang kekasih walau ia tak tahu menahu perihal ini.

“Biar saya yang usaha bikin kamu jatuh hati sama saya.” Ucapan Arjuna sukses membuat Nadya terdiam, menutup rapat kedua belah bibirnya dengan netra yang menatap lurus pada obsidian lelaki di depannya. Om-om gila.

--

--