10. Happy, ngga?

Michuseyo
8 min readSep 24, 2023

From Heartbeat au || by michuseyo

Belva sudah berada di apartemen milik Lana di daerah pasteur. Ia setia menunggu kedua sahabat perempuannya yang masih saja bergelut dengan riasan yang hasil akhirnya tak merubah wajah asli mereka. Buang-buang waktu, ucapnya. Dan akan berlanjut menjadi sebuah perdebatan dengan Kiya yang tentu saja Belva akan selalu mengalah karena ia tak mengerti juga tentang make-up.

“Ini tuh flawless namanya, make-up no make-up look.”

“Ya tapi buat apa? Gak beda jauh sama gak pake make-up anjir.. udah pada cantik lo pada. Buruan ah gue laper, cari makan dulu kita.” Oceh Belva yang sedari tadi memakan roti sobek yang Lana beli kemarin di super market.

“Na.. lo gamau pindah aja apa?” Tanya Belva.

“Diem deh lo jangan bahas-bahas itu dulu. Kita kan mau having fun.” Cecar Kiya.

“Belum Bel, ntaran aja. Gue males cari-cari juga.” Lana merasa harus menjawab gurat khawatir yang kedua sahabatnya tampakkan secara tak langsung.

“Iya udah ga usah buru-buru. Nanti gue bantu cari unit yang gak kalah oke dari ini. Kalo bisa rumah sekalian, deket rumah gue biar kita tetanggaan.” Ujar Kiya sambil memasang softlens.

Selesai dengan riasan wajah, Lana dan Kiya membereskan peralatan make up mereka dan menata diri sekali lagi di depan cermin besar berukuran tinggi 180cm.

“Udah udah gausah megang hp, ntar mirror selfie.. lama lagi.” Ujar Belva saat melihat Kiya hendal membawa ponselnya di atas nakas. Belva sudah kesal karena menunggu dua perempuan berdandan.

“Ngomel mulu bocah. Ayok.” Ucap Kiya sambil menenteng shoulder bag mininya.

Butuh waktu kurang lebih 20menit untuk sampai di tempat konser. Mereka sampai di venue pukul 5 sore setelah menerjang macet jalanan Bandung di hari weekend. Perut mereka juga sudah diisi tadi di Mc Donalds depan Museum Geologi.

“Cari minum dulu bentar yaa, biar gak bolak-balik..” ucap Belva yang kemudian berjalan menuju kerumunan para penjual makanan dan minuman. Ia kembali dengan 3 botol air mineral dan 3 botol teh pucuk di kantong plastik. Ia juga membawa kentang goreng dan sosis di tangan kanannya. Ternyata perutnya masih mengaung minta diisi padahal tadi makannya sudah dua porsi.

“Di sini aja kita, gausah masuk ke sana ya..” ucap Kiya. Ketiganya berada di belakang kerumunan, jauh dari kerumunan namun masih bisa melihat musisi atau pengisi acara dengan jelas lewat layar besar. Acara musik ini mengundang musisi dan penyanyi papan atas. Jadi tak mungkin mereka tak tahu lagu-lagu dari band-band dan penyanyi yang mengisi acara. Sore menjelang malam disambut oleh suara khas pemilik lagu Cinta Ini Membunuhku. Semua orang jadi bersedih serentak. Semburat jingga seakan mendukung kegalauan orang-orang Bandung. Bahkan yang sedang tak merasa galau dan sakit hatipun ikut merasakan sedihnya isi dari lagu D’Masiv yang sangat populer di tahun 2008 hingga saat ini.

“Lagu berikutnya untuk kamu kamu yang merindukan sosok yang dicintai.. entah sekarang masih bersama atau sudah berbeda tempat bahkan dunia.” Sorak sorai penonton meramaikan suasana sore ini. Begitu syahdu dan sejuk karena semilir angin yang berhembus pelan dan tenang seakan ikut menari menyesuaikan nada-nada yang terdengar.

Aku ingin engkau selalu ada

Aku ingin engkau aku kenang

Selama aku..

Masih bisa bernafas

Masih sanggup berjalan

Ku kan selalu memujamu

Lenyap.. tak terdengar suara. Ingatan Lana seakan ditarik paksa ke malam-malam terburuknya. Memori itu kembali terputar. Setiap kata yang terucap menghujam hatinya secara berkala. Nyeri. Tak sengaja liquid bening itu keluar dari sudut mata kirinya. Tak ada yang peduli. Tak ada yang melihat karena ia berada disisi paling kiri. Kiya memeluk tubuh Lana dari samping, ikut bersenandung pelan pada setiap lirik yang Rian D’Masiv lantunkan. Belva juga ikut bernyanyi, menghayati walau dengan mulut yang masih mengunyah kentang goreng yang ia beli tadi. Sentuhan Kiya terasa namun raga Lana seakan tak ada disana.

“Bel!” Teriak kencang seseorang dengan menangkup bahu Belva membuyarkan keseriusannya dalam bernyanyi. Lana ikut terkesiap karena pergerakan Belva membuat badan Kiya ikut limbung jadi tubuh Lana pun tergerak dari posisinya. Mau tak mau ia melihat ke arah kanan, pada seorang lelaki yang sepertinya adalah teman Belva.

“Wey!” Sapa Belva pada temannya.

“Kemarin kaga ketemu anjir. Lo sama siapa nih?” Tanya Nico, perlahan ia melangkah ke arah depan seakan mempresentasikan diri di hadapan Lana dan Kiya.

“Gue bareng temen-temen SMA gue, kenalin.. Lana, Kiya ini Nico. Co, ini Lana, Kiya.”

Nico sangat bersemangat untuk berjabat tangan. Kiya menjabat tangannya terlebih dulu, baru Lana. Kemudian ia juga memperkenalkan Joan dan Antares pada Belva dan kedua teman Belva. Jadilah mereka menikmati konser malam ini berenam.

“Gue ke belakang stage dulu bentar ya, ada panggilan.” Ucap Nico yang langsung menghilang diantara kerumunan yang semakin menggila.

“Jadi lo kerja di Bank juga Na?” Tanya Joan ketika mereka sudah saling menyapa dan bercerita sedikit tentang kesibukan masing-masing.

“Iya, di Asia Afrika.”

“Jangan bilang?”

“Apa?”

“Lo partner kerja si Brian?”

“Lo kenal?”

“Kenal lah anjrit. Dia apa kabar?”

Keduanya tertawa dan saling bertukar cerita, membiarkan seseorang di ujung sana sendirian menikmati musik tanpa ada yang mengajaknya berbincang. Belva dan Kiya tadi izin untuk mencari makanan ringan karena perut mereka sudah minta diisi lagi.

Brian adalah teman satu kelas Joan yang sama-sama bekerja di Bank namun beda kantor. Jika Lana kerja di Kantor Pusat bersama Brian, Joan bekerja di kantor cabang daerah Jl. LLRE. Martadinata.

“Gue ke air dulu ya, kebanyakan minum nih..” ucap Joan pada Lana dan setengah berbisik pada lelaki di sebelahnya ntah membicarakan apa.

“Sama Ares dulu ya Na, baik ko ngga gigit.” Ucapnya kemudian langsung melengang berjalan menuju toilet yang disediakan di sisi sisi jalan.

“Ngga dingin?” Ares coba membuka obrolan. Pakaian Lana memang sedikit minim di bagian atas karena menggunakan crop tee dibalut cardigan tipis, dengan bawahan ripped jeans yang mengekspos paha mulusnya.

“Ngga ko, mungkin karena banyak manusia, jadi ngga kerasa anginnya.” Jawab Lana, jujur ia kurang suka jika apa yang dikenakannya dikomentari secara tak langsung oleh orang lain, terlebih orang itu hanyalah kenalan sesaat. Salahkan pola pikirnya yang sudah berubah, setiap apa yang orang baru katakan padanya, ia akan sulit menerima entah itu perkataan baik atau buruk sekalipun.

“Gue nanya aja ko, ngga ada maksud apa-apa.” Seakan paham perubahan yang terjadi pada raut wajah Lana, Ares memutuskan untuk meminta maaf, “Maaf ya, bukan maksud gue ngatur atau ngomentarin.” Lana tak menjawab, ia fokuskan pandangannya pada penyanyi di atas panggung sana, pura-pura tuli.

“Lo udah berapa lama kerja di Bank, Na?” Tanya Ares sedikit berteriak. Mau tak mau Lana harus menjawab karena pertanyaan itu jelas terdengar oleh telinganya. Ditambah Ares dengan sengaja mendekatkan tubuhnya jadi bersebelahan dengan Lana.

“Mau 5 tahun.” Ucapnya tak kalah berteriak. Bibirnya ia dekatkan sedikit pada telinga Ares agar ia bisa mendengar suaranya. Suara musik semakin menggema. “Happy ngga?” Tanya Ares lagi.

“Hah? Ngga.”

“Ngga?”

“Hah?”

Keduanya tertawa. Sama-sama paham jika apa yang mereka bicarakan tak sejalan, tak nyambung.

“Pindah ke belakang yuk..” ajak Ares, ia menarik sedikit sikut Lana dan berbisik dengan setengah berteriak ke telinganya. Sang puan hanya mengangguk setuju.

“Jadi gimana? Lo happy ngga sama kerjaan lo?”

“Ohhh Happy? Gue dengernya haus masa..” jawab Lana setengah tertawa, membuat Ares ikut tertawa. Manis ternyata senyumannya, batin Ares.

“Mm happy ko happy..” jawab Lana tak yakin. Dahi Lana tiba-tiba mengkerut, berpikir.

“Kenapa?” Tanya Ares yang peka pada perubahan raut wajah lawan bicaranya

“Lo kemarin ke starbucks?”

“Iya, kenapa?”

“Starbucks depan Uniqlo Heritage?”

“Iya.. kenapa emang? Kok lo tau?”

“Lo yang kenapa.. kemarin lo liatin gue, tatapannya kaya om-om anjir. Beneran kan itu lo?”

Ares bungkam. Setelah ia lihat-lihat lagi, ternyata perempuan yang kemarin ia temui sekaligus kagumi adalah orang yang sama dengan perempuan yang sedang berbincang dengannya sekarang. Ares tergelak. “Sorry sorry.. gak biasa liat cewe cantik soalnya.” Ucap Ares setengah jujur, ia kehabisan alasan.

“Alesan macem apa itu..” jawab Lana sedikit ketus namun bercanda.

“Serius, di lapangan ngga ada cewe soalnya, Na. Batang semua.” Jelas Ares.

“Emang lo kerja di mana?”

“Di tambang, bukan Kalimantan atau Papua kaya yang lo pikir. Gue kerja di Palembang.”

Lana hanya mengangguk. “Sering makan pempek dong?”

“Sarapan itu mah Na.”

Keduanya saling melempar senyum.

“Lo mau? Masih ada pempek di rumah gue.” Ares menawarkan. Ia memang membawa 1 dus berisi pempek tinggal goreng. Dan seingatnya masih tersisa banyak di rumah sebelum ia pergi tadi.

“Mm ngga.. ngerepotin banget. Lo kerja lagi kapan? Ini sekarang lagi cuti?”

“Ngga lah ngga ngerepotin, rumah gue deket ko daerah Dago. Minggu depan gue udah balik, sekarang lagi memanfaatkan jatah libur.”

“Libur berapa bulan sekali? 6 bulan?” Tanya Lana lagi, ia tak menggubris topik pempek karena dirasa tak perlu diperpanjang, toh setelah ini mereka tak akan bertemu lagi dan kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

“Nggalah, 3 bulan sekali gue libur. Libur 2 minggu.”

Lana hanya mengangguk dan kembali memfokuskan pandangannya pada Raisa yang sudah berdiri di atas panggung.

“Cantik banget Kak Yaya..” gumam Lana yang terdengar jelas oleh Ares. Lana membuka ponselnya dan masuk ke bagian kamera, kemudian memotret serta merekam Raisa yang sedang membawakan lagu Jatuh Hati. Lagu penuh kenangan indah yang berubah menjadi menyakitkan. Lagi dan lagi perasaan itu muncul, harusnya ia bisa menikmati acara musik dengan hati yang riang tapi ternyata tak bisa. Terlalu banyak kenangan yang ia miliki bahkan untuk acara musiknya saja sebenarnya sudah sangat menyesakkan dadanya.

Lagu keempat dinyanyikan, bahkan dengan nada awalnya saja Lana sudah tahu judul lagu tersebut. Biarkanlah.

Ponsel yang tadi dimasukkan ke dalam tas, ia bawa kembali. Merekam bagian awal hingga reff. Dan tak lupa ia merekam lirik yang memiliki arti tersendiri untuknya.

Relakan semua yang telah berakhir

Takkan berubah yang pernah terukir

Walau air mata mengalir

Terlalu khidmat menikmati suara Raisa, Lana dan Ares tak sadar jika sudah ada Joan, Belva dan Kiya di antara mereka berdua sambil memegang beberapa cemilan yang telah mereka jarah. “Udah Raisa, balik yu? Alvin nelponin gue, minta dianter besok.”

“Ga asik ah Tuan Muda Alvin” cibir Belva, “Lo pulang sendiri aja, minta jemput suami lo. Lana biar gue yang anter.” Timpalnya.

“Ngga ah, gue gak percaya sama lo. Ya kan Lan? Jangan mau percaya sama si Belva.”

“Orang gila.. kita temenan udah lebih dari sepuluh tahun ya monyet. Pikiran lo kotor mulu.” Cecar Belva pada Kiya yang tak peduli pada ucapan sahabatnya itu.

“Yaudah gapapa.. gue balik juga aja Bel, cape. Besok harus kerja.” Ucap Lana.

“Nah bener kan.. besok kerja jadi mesti pulang cepet.” Joan dan Ares hanya mendengarkan percakapan ketiga sahabat tersebut.

“Yaudahlah buruan ayo balik, gue gamau ketinggalan Dewa19.” Belva mengajak kedua sahabatnya itu untuk segera pulang. Lana dan Kiya berjalan terlebih dulu, berpamitan pada Joan dan Ares. Saling bertukar senyum. Langkah Belva terhenti karna tangannya di tahan oleh Ares.

“Mau sama gue aja ngga dianternya?” Tawar Ares. Joan sedikit mendelikkan matanya, paham maksud dari tawaran temannya tersebut.

“Ah gak usah, repotin banget res. Yang satu di Pasteur, yang satu di Setraduta. Udah lo berdua nikmatin acaranya aja ya. Bye gue duluan!” Belva buru-buru mengikuti langkah Lana dan Kiya yang sudah berjalan mendahului tanpa mendengar percakapan Belva dengan Ares.

--

--