071. ‘Rumah’

Michuseyo
10 min readDec 8, 2023

Closer AU by michuseyo

Jika setiap anak memiliki rumah, tidak dengan Baskara. Walaupun rumah ini terlihat sangat besar dan nyaman untuk dihuni, tapi tidak bagi Baskara. Sejak 2012, Baskara sudah tak mengenal apa itu arti rumah yang sesungguhnya. Rumahnya tak sehangat milik teman-temannya walau banyak dari mereka selalu berbisik membicarakan betapa megah dan mewah hunian yang ia tinggali bersama kedua orang tua dan abangnya yang usianya terpaut 8 tahun di atas Baskara.

Tidak banyak memori indah yang Baskara miliki di hunian ini. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar atau halaman belakang rumah, bermain bersama anjing American Eskimo yang bukan miliknya. Warna bulunya putih seperti salju dengan mata yang kecil namun penuh binar seperti milik Baskara jika ia sedang dalam keadaan hati yang baik. Anjing betina yang diberi nama Ecih itu adalah milik Arjuna sang abang, tapi Ecih selalu ingin dekat dengan Baskara, ingin mendapatkan perhatian pada sosok lelaki yang lebih banyak diam di kamar dan membunuh waktu dengan bermain lego. Maka sesekali, Baskara akan mengajak Ecih bermain di halaman belakang rumah. Setidaknya itu memori yang Baskara ingat semasa kecilnya sebelum Ecih mati ditabrak oleh seseorang tak bertanggung jawab di area sekitar komplek rumah. Dan sebelum dunia Baskara menjadi semakin kelabu.

Baskara tiba di kediaman Dewandaru pukul 5 sore. Sempat berhenti di pinggir jalan, ragu untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah megah ini. Satu hal yang ia ingat adalah kekasihnya, Nadya. Perempuan itu seakan mengerti jika ada hal yang Baskara sembunyikan, bukan, bukan disembunyikan, hanya saja Baskara tidak tahu harus memulai dari mana cerita memilukannya. Sebab ia tak ingin membuat Nadya khawatir tentang keadaannya. Baskara sebisa mungkin ingin menghindari belas kasih dari orang sekitar.

“Badan kamu makin besar aja dek..” sapa sang Tuan rumah dengan polo shirt berwarna hitam andalannya sejak dulu disertai celana jogger berwarna abu-abu yang masih Baskara ingat dengan jelas jika barang itu adalah pemberiannya dengan sang Bunda sebagai kado ulang tahun ke-39 tahun.

Ayah duduk di sofa single sebelah Baskara yang sebelumnya sedang fokus pada ipad di atas paha, menonton Ria SW, food vlogger favoritnya. Baskara membuka airpods yang masih terpasang pada kedua telinga lalu menekan tombol pause, memusatkan pandangannya pada sang ayah yang tengah berbicara padanya.

Sempat kebingungan harus menjawab sapaan Ayah seperti apa, jadi Baskara hanya menjawab seadanya “Olahraga biasa aja ko yah, di apart.” Ayah hanya mengangguk, setidaknya ia sedikit berhasil untuk membuka ruang obrolan. “Kuliah gimana? Lancar dek? UAS kapan?” Baskara menghembus nafas pelan, here we go again.

“Lancar yah.. masih dua minggu lagi ujiannya.”

“Berat engga kuliah teknik?”

“Ngga yah…”

Ayah kembali mengangguk, “kalo misal berat — “

“Ngga yah, aman ko. Adek kan selalu kasih liat IPK semesteran ke Ayah lewat Pak Agoy.”

Ayah mengangguk lagi, ia tahu bahwa dirinya akan selalu kalah jika membicarakan hal yang satu ini. Akademik si bungsu memang tak kalah bagus dari sang Abang.

“Ayah, Adek.. makan dulu, ngobrolnya lanjutin di sini aja” teriak Ibu dari dalam ruangan lain yang terhalang beberapa sekat dinding beton. Ayah kemudian menggerakkan kepala beserta ibu jarinya, menunjuk ke arah ruang makan yang berada di belakang dekat taman dan langsung mendapat anggukan dari Baskara.

Arjuna baru turun dari kamarnya setelah membersihkan diri. “Wahh seru nih banyak makanan, makasih ya dek udah pulang..” ucap Arjuna seraya memundurkan kursi kayu dan mendaratkan bokongnya di sebelah kursi Baskara. “Sering-sering pulang dek, abang kamu tuh kasian sendirian ngga ada temen ngobrol. Jadi kerjaannya di kamar terus, jarang keluar.” Ucap Ibu sambil menyerok nasi ke atas piring untuk ia sajikan pada sang suami.. “Ah Ibu sama Ayah aja jarang di rumah.. Juna suka keluar juga ko sama temen-temen. Adek juga pasti lagi sibuk sama kuliahnya, iya kan?” Baskara hanya bisa menanggapi tanya Arjuna dengan mengangguk.

“Udah yuk kita mulai makannya.. ada makanan favorit adek nih telor balado.” Ucap Dewandaru yang kemudian menaruh satu buah telur balado tersebut ke atas piring Baskara. “Untung tadi Ayah ingetin Ibu buat bikin telor balado, dimakan dek.” Lanjut sang Ayah. “Bayemnya nih dek, biar makin sehat.” ucap Arjuna sambil mengunyah potongan ayam bagian paha atas yang merupakan kesukaannya. Jujur saja, perpaduan sayur bayam dan telor balado adalah nikmat surga dunia bagi Baskara. Masakan sederhana yang selalu punya ruang dalam lambungnya. Walaupun banyak sekali menu yang dihidangkan, tapi dua makanan itu yang hanya Baskara pilih untuk memenuhi piring putihnya. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas walau tipis hingga tak ada yang menyadari bahwa Baskara sedikit senang.

Hening menyergap sesekali saat tak ada yang berinisiatif membuka obrolan. Bahkan sepertinya 3 kepala di ruang makan ini melupakan tujuan utama di adakannya pertemuan keluarga inti. Ayah berdeham. Sebagai kepala keluarga, dirinya masih merasa sulit untuk bisa membuat suasana mencair dan hangat.

“Besok Abang ke Lagos, adek bisa temenin ke bandara?” Arjuna membuka ruang obrolan lebih dulu. Yang ditanya sibuk memotong bagian putih telur menjadi bagian yang kecil-kecil, hal itu merupakan kebiasaan Baskara sejak kecil. “Jam berapa?” Tanyanya yang masih fokus pada makanan di atas piring. “Jam 4, udah ngga ada kelas kan?” Seakan Arjuna sudah mencari tahu jadwal Baskara sebelumnya.

“Boleh.” Jawab Baskara singkat, lagi pula tak ada alasan untuk dirinya menolak keinginan sang abang yang akan pergi selama kurang lebih dua tahun ke negeri orang untuk mengenyam pendidikan lagi. “Ibu sama Ayah gak bisa lama loh bang.. gapapa ya? Jadi Adek temenin Abang.” Baskara hanya bisa mengiyakan kemudian membawa satu buah butir telor balado lagi ke atas piringnya. Hening kembali menyapa, hanya terdengar adu suara dari dentingan benda berbahan stainless steel dan kaca.

Baskara berhasil meneguk segelas air putih sebelum pertanyaan yang ditujukan untuknya terlontar, “Tato adek ko makin banyak ya?” Tanya Sinta tiba-tiba, salahkan Baskara yang lupa menggunakan kemeja atau kaos lengan panjangnya hingga tato-tato di tangan kanannya terekspos dengan mudah. “Emang entar kalo kerja di perusahaan tambang bakal bisa?” Ayah dan Arjuna sempat terhenyak sesaat ketika mendengar tanya dari Sinta Amalia.

Jujur saja, awal keinginannya membuat tato memang tak disetujui oleh sang Ayah. Bahkan Dewandaru mati-matian melarang Baskara untuk melukis tubuhnya dengan tinta tato. Larangannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena Baskara bisa saja kesulitan mencari pekerjaan di masa yang akan datang, namun selama otaknya masih berfungsi dengan baik dan skill yang ia miliki mumpuni, Baskara tak terlalu mengkhawatirkan hal tersebut. Kepercayaan diri Baskara tak bisa hanya dipandang sebelah mata, sang Ayah sangat mengetahui hal itu dan ia pun tahu kemampuan si bungsu.

“Belum tambah lagi dan ngga akan tambah lagi Bu. Emang maunya kaya gini.” Ucapnya dengan desis yang tak kasat di akhir kalimat. “Iya tapi serem gitu penuh sama tato, kalo entar susah cari kerja ujung-ujungnya pasti minta bantuan Ayah dan balik lagi ke bisnis. Padahal adek sendiri yang keukeuh ingin masuk teknik.”

“Yang dilihat kemampuan, bukan cuma fisik.” menegang, atmosfer ruang makan sedikit gerah dan panas. Tak ada adu tatap, semua sibuk dengan makanan di atas piring, hanya membiarkan suara yang saling bersaut untuk memenuhi ruang.

“Tapi screening awal pasti mereka ingin pegawai yang kelihatan sopan dan baik-baik.” Tersisa satu butir kuning telur di atas piring dan hanya tinggal dimasukkan ke dalam mulut, lalu selesai. Namun Baskara memilih untuk mengambil satu butir telur kelimanya malam ini.

“Kuliah teknik tuh mahal, bisa habis ratusan juta sampai lulus. Kalo ada jaminan adek bisa keterima di perusahaan top 3 Nahma, ya syukur. Kalo engga? Sayang uang, waktu, mending kuliah bisnis kaya Abang, jelas juga alurnya balik lagi untuk keluarga.” Ujar Sinta panjang lebar dan Baskara hanya bisa tersenyum dengan kedua alis yang ia angkat dan menganggukkan kepala berulang kali. Keinginannya memang tak pernah bisa disetujui sepenuhnya, terutama bagi wanita paruh baya yang duduk di depan Arjuna.

“Adek bentar lagi UAS biarin dia fokus UAS dulu, pasti nanti ada perusahaan yang cocok ko, masih 2 tahun lagi lulusnya, Ibu tenang aja.” Arjuna berusaha menengahi dan bukan tidak mungkin jika Baskara bisa diterima di Perusahaan Tambang walau tangan kanannya dipenuhi oleh tato.

“Seengganya belajar bisnis dikit lah, perusahaan kita kan ada banyak. Ambil salah satu, fokus. Ayahmu itu bangun bisnis buat siapa kalo bukan buat kalian berdua.” Sedikit, hanya sedikit terasa sayatan pada hati Baskara. Ia tahu betapa Dewandaru bekerja dengan sangat keras untuk membangun bisnis-bisnisnya saat mereka masih kecil dulu sampai hanya bisa bertemu Bunda satu bulan sekali. Ia juga menjadi saksi tangisan tiap malam sang Bunda karena merindukan Ayah yang tengah berjuang untuk kehidupan keluarga kecilnya.

“Udah Bu, ngga apa-apa. Biarin Adek dengan pilihannya sendiri, kalo ada apa-apa kan ada Ayah, ada Abang. Adek tinggal minta bantuan, iya kan?” Dewandaru membuka suara, tak ingin jika keadaan di ruang makan semakin panas dan runyam. Ia hanya berusaha menjadi pemimpin keluarga serta Ayah yang baik. Baskara menatap nanar setengah telur yang telah ia bagi dua.

“Liat dulu aja nanti hasil semester 3 nya, bagus atau engga. Adek juga sambil cari-cari kuliah bisnis biar ada alternatif.” Sinta terdengar mendesak, entah untuk alasan apa. Padahal ia juga selalu melihat grafik nilai semester si bungsu yang tak pernah keluar dari angka 3,70. Mungkin kurang, selalu kurang. Walaupun baru menjalani dua semester, Baskara tak bohong jika dirinya memang menyukai bidang yang ia pilih dan memiliki tekad untuk bisa bekerja di pertambangan atau perusahaan lain yang masih sesuai dengan jurusan kuliahnya sebagai lulusan teknik sipil, asal bukan melanjutkan bisnis keluarga. Ia cukup menjadi bagian dari bisnis yang Ayahnya jalani sebagai seseorang yang memiliki andil dalam pemilihan menu setiap tiga bulan sekali.

“Adek mau jadi lulusan teknik.” Baskara menjawab dingin, kemudian melahap setengah potongan telur yang tersisa lalu menyimpan sendok serta garpu dengan membalikkannya secara menyilang sebagai pertanda ia mengakhiri hidangan makan malam ini. “Keras kepalanya mirip Bun — “ belum selesai Sinta menyelesaikan kalimatnya, Baskara lebih dulu memundurkan kursi kayu “Adek besok ada kuis pagi-pagi, pamit pulang ya.” Ucap Baskara, ia kemudian berdiri berusaha menyambut tangan kedua orang tuanya. Dirinya tahu kemana arah pembicaraannya akan berlanjut jika ia tak segera pergi dari rumah ini.

“Abang anter pulang ya?” tawarnya sambil berdiri di sebelah Baskara yang sedang menciumi punggung tangan Ayah dan Ibunya. “Entar abang bolak-balik, adek sendiri aja.” Baskara kemudian berjalan menuju ruang tengah dan mengambil backpack serta jaket bomber berwarna hitam.

“Jangan terlalu diambil pusing dek..” ucap Arjuna seraya berjalan keluar rumah mengantar sang adik menuju halaman depan. “Abang kenapa lanjut S3? Bukannya udah ngga mau sekolah lagi?” Alih-alih merespon pernyataan sang Abang, Baskra memilih untuk membuka topik lain karena sudah lama juga ia tak berbincang dengan Arjuna setelah mereka sudah tidak tinggal pada atap yang sama.

Shit happen dek..”

What kind of shit?” Baskara sedikit tergelak, ia jarang mendengar Abangnya mengumpat.

“Abang mau dijodohin.”

Hening. Baskara terdiam saat mendengar jawaban Arjuna, bingung bagaimana harus merespon karena hal seperti ini memang mungkin saja terjadi pada keluarganya. Tapi ia juga tahu jika selama ini Dewandaru tak pernah melarang kedua anak laki-lakinya untuk memiliki hubungan dengan lawan jenis. Maka Baskara kembali terhenyak saat mendengar lanjutan cerita dari Arjuna, “Mana umur cewenya seumuran sama lo lagi dek.. Bocil.”

The fuck?

Berusaha tenang dan terlihat normal, “Udah ketemu sama cewenya?”

“Belum, entar ajalah.. Males juga abang kalo harus ketemu sama bocil. Biar dia lulus kuliah, abang juga lulus kuliah.”

“Jadi ceritanya abang mau kabur ya? Tapi kaburnya malah belajar lagi.”

“Terpaksa dek.”

“Cuma Abang doang emang, kabur terus larinya ke S3.” Baskara menggelengkan kepalanya tak percaya pada keputusan absurd Arjuna.

“Ya abang mah pakai privilege yang ada, sayang kalo ngga dipake.”

Keduanya tertawa, paham jika power sang Ayah tak main-main apalagi jika berhubungan dengan pendidikan. Dewandaru memiliki banyak koneksi bukan karena bisnisnya saja, tapi karena ia memang pintar bergaul dan pintar juga dalam akademis, tak heran kedua anaknya sama pintarnya dengan sang ayah.

“Belajar yang bener ya dek, udah dikasih apartemen bagus, mobil juga. Pokoknya harus bisa masuk ke Top 3 Nahma.” Sinta menginterupsi obrolan dua laki-laki yang sedang bercengkrama di teras rumah.

“Iya bu..” hanya itu yang bisa Baskara lontarkan.

“Jangan pacaran-pacaran dulu lah, fokus sama pendidikan. Urusan cinta belakangan aja, kaya Abang, ya bang?” Keberadaan Jasmine memang tidak diketahui sama sekali oleh kedua orang tua Arjuna, Baskara pun hanya mengenalnya sekilas karena dulu, tak sengaja bertemu di sebuah coffee shop dan Arjuna mengenalkan Jasmine pada Baskara sebagai kekasihnya. Tentu saja Baskara sedikit terkejut karena melihat penampilan Jasmine yang dari cara berpakaiannya saja sudah jelas jika mereka tak seiman. Namun Baskara tak terlalu ambil pusing, toh ia percaya bahwa Abangnya tak akan memutuskan hal dengan gegabah.

“Belum punya pacar kan?” Tanya Sinta lagi dan Baskara enggan menjawab, ia tak mau tak mengakui Nadya tapi setelah mendengar Sinta tak mau jika dirinya memiliki kekasih tentu saja Baskara dilema harus menjawab apa.

“Udah punya pacar? Putusin, bikin runyam pendidikan. Apalagi kalo pacar kamu itu manja, tau ngga dia kalo kamu anak yang punya Yummy Yum?” Padahal Baskara belum sempat menjawab tapi Sinta sudah menyimpulkannya sendiri.

“Dia selalu ada untuk adek, dia juga ngga peduli sama latar belakang adek. Dia suka sama tato adek. Dia perempuan baik-baik, engga pernah nuntut ini dan itu. Adek sayang sama dia. Kita saling sayang, saling cinta.“ Arjuna baru mengetahui fakta tersebut, adiknya memiliki seorang kekasih. Selama ini Baskara selalu tertutup perihal kehidupannya jika tak berhubungan dengan pendidikan atau keluarga. Ia membuat bentuk O dengan bibirnya, sedikit tak percaya pada fakta yang Baskara ungkapkan beberapa detik yang lalu.

“Terserah, tapi Ibu tetep gak setuju kamu punya pacar. Akademik kamu jadi taruhannya.” Arjuna tak bisa membela, ia selalu kesulitan menjadi tameng untuk sang adik sejak dulu. Arjuna jelas paham bahwa Baskara sudah tak nyaman berada disini sejak di ruang makan tadi, ditambah larangan tiba-tiba dari Ibunya mengenai kekasih.

“Nilai adek ngga akan turun bu, janji.” Ucap Baskara dengan tenaga yang ia rasa sudah terkuras habis tak bersisa.

“Pamit dulu ya..”

“Hati-hati dek.” Arjuna membuka pintu mobil dan mempersilahkan sang adik masuk di balik kemudi kemudian tersenyum hingga lesung pipi itu terlihat.

“Hati-hati, langsung ke apart jangan nongkrong-nongkrong gak jelas.” Ujar Sinta, Baskara hanya mengiyakan agar ia bisa segera pergi dari sini. Kemudian ia menutup pintu, menyalakan mesin mobil dan melajukannya.

Mobil civic putih itu lenyap dari penglihatan Arjuna dan Sinta yang masih berdiri di teras rumah.

“Udah kasih tahu adek tentang perjodohan kamu bang?”

“Udah, Bu.”

“Kamu kasih tau orangnya siapa?”

“Ngga, belum. Abang harus tau dulu orangnya baru bisa kenalin ke adek.” Sinta hanya mengangguk lalu melingkarkan tangannya pada lengan besar si sulung, menariknya perlahan untuk masuk ke dalam rumah.

Entah apa yang dipikirkan oleh Baskara, tapi ia benar-benar tak ingin pulang ke apartemen dan kuis hanyalah sebuah alibi agar ia bisa keluar dari rumah dengan tenang. Ponselnya mati sejak tadi sore jadi ia belum bisa memeriksa notifikasi masuk dan yakin jika kekasihnya saat ini pasti sedang khawatir padanya. Baskara memutuskan membanting setir dan mendatangi apartemen sahabatnya sejak SMA, Gema Anugrah.

--

--